Kamis, 03 Maret 2011

TRADISI DESA ADAT TENGANAN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu sendiri. Menurut penelitian, identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali sendiri dan ada pula yang datang dari pulau Jawa. Penduduk asli daerah Bali berasal dari keluarga besar Autronesia  dan diperkirakan telah masuk ke Pulau Bali dua abad SM dan penduduk ini bertempak tinggal di desa tradisonal yang dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga. Dalam perkembangan berikutnya barulah masuknya orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe Desa Apanaga.
Orang-orang Bali yang termasuk ke dalam kelompok Bali Aga adalah mereka yang berdiam di Pulau Bali  mendahului orang Bali Apanaga. Ini bermaksud untuk memberikan keterangan tentang orang Bali dengan kebudayaan Pra Hindu dengan orang Bali dengan Kebudayaan Hindu. Perbedaan ini terutama pada faktor geneologis dan faktor budaya. Perbedaan faktor geneologis, yaitu orang Bali Aga adalah termasuk ke dalam orang Bali Apanaga ditambah dengan orang Bali keturunan Mongoloid. Sedangkan orang Bali Apanaga atau orang Bali dataran Jawa Hindu yang datang ke  Bali melalui persebaran penduduk ekspedisi, seperti ekspedisi Singasari 1284 M dan ekspidisi Gajah Mada tahun 1343 M.
Perbedaan faktor budaya, sangat terlihat jelas antara Desa Bali aga dan Desa Apanaga karena pada umunya Desa Bali Aga terletak didaerah-daerah pegunungan yang sangat jauh dengan hirup-pikuk perkembangan kehidupan, seperti di daerah Kintamani, Karangasem dan lainnya. Arsitektur atau pola bangunan desanya pun masih tertata secara tradisi dan klasik. Masih terdapat rumah adat, komplek desa induk, tempat-tempat yang disakralkan di desa, serta aturan atau awig-awig yang sangat dipatuhi oleh penduduk desa. Sedangkan pada desa Apanaga sistem kehidupan lebih kompleks dan fleksibel untuk menerima dan menyaring semua pengaruh dari luar. Walaupun Desa Bali Aga tidak terlalu kaku untuk menerima perubahan tetapi mereka tetap menjujung tinggi tradisi turun-temurun nenek moyang dan leluhur masing-masing.
Dalam mempelajari kebudayaan asli maupun kebudayaan yang telah bercampur dengan kebudayaan lain sesuai perkembangan zaman tentunya yang kita pelajari adalah suatu peninggalan sejarah kebudayaan yang nyata dan tetap menyimpan makna sendiri dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Sejarah nyata dari suatu kebudayaan dapat berupa karya seni berbagai bentuk. Kususnya daerah Bali dengan desa-desanya. Kebudayaannya tetap dijaga dengan mengedepankan seni arsitektur untuk menjunjung nenek moyang, leluhur dan Tuhan yang Maha Kuasa dan seni yang digunakan saat upacar-upacara sakral umat Hindu di bali.
Salah satu kebudayaan yang menjadi sejarah lokal Bali adalah berupa kebudayaan dalam bentuk seni bangunan.  Berdasarkan kepercayaan Autronesia (Melayu Polinesia), makna sebuah Pura dalam masa prehistoric Bali bukanlah berbentuk candi, melainkan hanya sebuah lapangan atau ruangan terbuka yang dikelilingi oleh suatu pembatas tertentu yang bermakna penghalang bagi masuknya pengaruh negative. Disini Pula di puja Dewa-Dewa alam seperti Dewa Matahari, Dewa Gunung, Dewa Laut dan Dewa-dewa lainnya serta arwah nenek moyangnya agar mau turun pada batu-batu besar yang telah disediakan sebagai stananya.
Khususnya di Desa Tenganan arsitektur desa Tenganan terbangun secara Linear yang terdiri atas enam leret dipisahkan oleh tiga jalan atau awangan. Awangan Barat, Awangan Tengah, Awangan Timur. Pembagian oleh tiga jalan tersebut telah membentuk enam leret pemukiman. Semua tradisi di desa Tenganan masih hidup dan berkembang dalam tatanan hukum adat dan awig-awig desan yang merefleksikan adanya keharmonisan hubungan manusia dan Tuhan. Manusia dengan manusia hidup dilingkungan dengan konsep Tri Hita Karana.
Kekhasan budaya lainnya yang sangat menonjol di daerah Tenganan ini adalah tradisi Mekare-kare setiap bulan Juni yaitu tradisi perang pandan dalam konteks ritual, nilai religious, semangat perjuangan dan uji ketangguhan fisik yang diiringin gambelan tradisional selonding.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengangkat tema tentang masalah kebudayaan masyarakat asli wilayah Bali atau masyarakat Bali Aga. Sehingga penulis memandang perlu untuk nginformasikan kebudayaan terpendam di desa Tenganan dengan tujuan pelestarian Budaya. Dengan ini penulis mengambil judul “KEBUDAYA ARSITEKTUR DESA TENGANAN DAN KEUNIKAN TRADISI PERANG PANDAN SEBAGAI DESA TRADISIONAL WISATA BALI”.
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:


1.      Bagaimana menjaga budaya arsitektur asli desa Tenganan dengan berbagai kemajuan di bidang seni bangunan zaman sekarang ini?
2.      Mengapa upacara Perang Pandan tetap dilestarikan oleh masyarakat Tenganan dan apakah timbul konflik saat usainya Perang Pandan ?
3.      Apakah kebudayaan di desa Tenganan hanya dijadikan objek wisata untuk menunjang kehidupan ekonomi masyarakat desa?

1.3 METODE PENELITIAN
1.3.1 Metode Pengumpulan Data
-  Metode Pustaka
   Metode Pustaka yang dimaksud adalah dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis, yaitu buku-buku, surat kabar  yang berhubungan mengenai budaya arsitektur atau pola bangunan, keunikan tradisi perang pandan dan desa tradisional wisata.
1.3.2 Jenis Sumber Data
Penulis mengumpulkan dan menggunakan data tertulis yang didapati dari sumber-sumber artikel dan buku. Dan penulis juga langsung datang mengamati pola arsitektur desa.

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Mendeskripsikan upaya untuk menjaga budaya arsitektur asli desa Tenganan Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan utama dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      dengan berbagai kemajuan di bidang seni bangunan zaman sekarang ini.
2.      Mendeskripsikan fungsi upacara Perang Pandan yang tetap dilestarikan oleh masyaarkat Tenganan.
3.      Mendeskripsikan peran kebudayaan desa tenganan untuk menjadi desa tradisional wisata yang dapat membantu kehidupan masyarakat desa.
1.5 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi masyarakat
·         Tulisan ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui bagaimana peran masyarakat asli untuk melestarikan kebudayaan asli setempat
·         Tulisan ini juga dapat digunakan untuk menambah kecintaan masyarakat terhadap arsitektur dan keunikan budaya tradisonal asli masyarakat Bali. Sehingga timbul rasa memiliki dan kebanggaan.

2.      Bagi penulis
·         Dengan melakukan penulisan ini, penulis mendapat banyak informasi mengenai budaya arsitektur desa Tenganan dan keunikan tradisi perang pandan sebagai desa tradisional wisata. Dan memotifasi penulis untuk lebih mencintai kebudayaan Bali.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Dan Letak Geografis dan Arsitektur Desa Tenganan
Sejarah desa Tenganan terungkap dalam beberapa versi: versi pertama daerah Tenganan berawal saat pemerintahan Raja Maya Denawa. Ketika itu Raja dikenal sangat otoriter dan menganggap dirinya sebagai Tuhan dan melarang masyarakatnya melakukan persembahan kepada Tuhan. Para dewa menjadi sangat murka dan mengutus Dewa Indra untuk memerangi Raja Maya Denawa.
Setelah Dewa Indra dapat mengalahkan Raja Maya Denawa, dilakukan satu upacara untuk membersihkan dan menyucikan kembali tempat peperangan dan dunia secara keseluruhan. Upacara yang dilakukan disebut dengan ''Asvameda Yadnya'', menggunakan Oncesrawa, kuda putih milik Dewa Indra sebagai korban persembahan. Ketika mengetahui dirinya akan dijadikan korban, kuda Oncesrawa melarikan diri dan menghilang.
Dewa Indra kemudian mengutus ''wong peneges''--prajurit Bedahulu-- untuk mencari kuda tersebut. Mereka membagi diri menjadi dua, satu kelompok ke arah Singaraja dan kelompok yang lain ke arah Karangasem. Kelompok yang pergi ke arah Karangasem kemudian menemukan bangkai kuda Oncesrawa di lereng bukit, di daerah utara. Karena kecintaannya terhadap kuda tersebut, ''wong peneges'' memohon kepada Dewa Indra agar mengijinkan mereka tinggal di sekitar Batu Jaran, tempat bangkai kuda ditemukan.
Dewa Indra mengabulkan permohonan ''wong peneges'' dan memberikan hadiah atas usaha mereka. Hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra berupa wilayah kekuasaan, dengan batasan luas sampai bau bangkai kuda tidak lagi tercium. Karena menginginkan wilayah yang luas, ''wong peneges'' kemudian memotong bangkai kuda dan dibawa berjalan sejauh mungkin. Tindakan tersebut diketahui oleh Dewa Indra yang kemudian datang dan berdiri di sebuah tempat yang saat ini dikenal dengan Batu Madeg. Ketika Dewa Indra tiba di Batu Madeg, ''wong peneges'' sudah sampai di satu daerah yang cukup jauh. Dewa Indra melambaikan tangan dari Batu Madeg dan memberitahukan bahwa wilayah yang ingin dikuasai ''wong peneges'' sudah cukup luas. Pada tempat ''wong peneges'' tersebut berhenti kemudian didirikan Pura Pengulap-ulapan.
Tempat diletakkannya masing-masing potongan bangkai kuda kemudian diberi nama, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan batu yang menyerupai masing-masing potongan bangkai tersebut. Potongan-potongan tubuh bangkai kuda tersebut menyebar di seluruh wilayah dan menjadi batas wilayah yang kemudian dikenal dengan Desa Tenganan Pegringsingan.
Karena wilayah Tenganan Pegringsingan merupakan hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra, maka masyarakatnya menganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai dewa perang mempengaruhi struktur permukiman desa Tenganan Pegringsingan yang terkait dengan pertahanan diri. Strukturnya dinamakan ''jaga satru'' artinya waspada terhadap musuh, dilindungi benteng dengan empat ''lawangan'', pintu di setiap mata angin. Dengan menelusuri masa pemerintahan Raja Maya Denawa, maka diperkirakan Desa Tenganan berdiri sekitar abad XIV. Versi kedua, penemuan arkeolog R.Goris yang menyatakan bahwa desa Tenganan dikenal dalam salah satu prasasti Bali dengan nama Tranganan. Prasasti ini menunjukkan angka sekitar abad XIV dan XV. Versi ketiga, menurut lontar Usana Bali, penduduk desa Tenganan bersembahyang ke pura Bukit Lempuyang berjalan menelusuri pantai Candi Dasa kepantai timur sekitar abad X dan XI.
2.2 Sejarah Upacara Perang Pandan
Perang pandan adalah ritual tarian Perang Pandan yang pada dasarnya adalah upacara untuk Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, untuk menjaga keselamatan desa dan juga mungkin ada hubungannya  dengan pengorbanan darah. Acara ini hanya bisa disaksikan di desa ini, dua hari berturut turut. Awalnya ada persiapan, termasuk persembahan di pura, pemotongan pandan dan makan bersama. Acara perang pandan di mulai pukul 2 siang, dan pihak luar boleh bergabung selama memakai pakaian tradisional sarung dan topi. Sebelum perang dilaksanakan, tuak di tuang ke tanah. Suara teriakan dan tawa menghidupkan suasana. Sekitar jam 4 sore, acara selesai dan dilanjutkan dengan mengolesi luka dengan ramuan rempah dan diikuti makan bersama di balai perkumpulan. Semuanya berjalan damai dan menikmati suasana yang lebih mirip perayaan.
2.3 Desa Tenganan Sebagai Desa Tradisional Wisata
Di Bali desa adat tertua dalam budaya Bali adalah desa adat Tenganan Pagringsingan yang didiami penduduk Bali Aga (Bali Asli) di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, sebuah desa terpencil, sekitar 85 km dari Denpasar, yang menjadi tujuan wisata lebih dikarenakan adat dan tradisi benar-benar dijaga di sini, bahkan bisa dibilang terjaga dari arus perkembangan jaman yang begitu pesat di sekelilingnya.
Bila memasuki desa Tenganan ini memang terasa sekali perpaduan antara “yang kuno” dan “yang modern” dan menjadi daya tarik tersendiri, yaitu terpancarnya suasanan magis dan eksotisme yang muncul dari keaslian tatanan desa yang dipegang erat penduduknya. Masyarakat Tenganan mentaati peraturan desa yang amat kuat, yang bernama awig-awig (peraturan adat tertulis) dan telah ada sejak abad  XI dan diperbaharui pada tahun 1842. Salah satu peraturannya adalah mengharuskan warganya untuk hanya menikah dengan sesama warga di dalam desa adat ini.
Secara administratif desa Tenganan terbagi dalam lima banjar dinas, yakni Pegringsingan, Dauh Tukad, Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh. Khusus Pegringsingan dan Dauh Tukad, keduanya memiliki banyak kesamaan dalam budaya. Dua wilayah ini pula yang menjadi desa wisata budaya. Dari keduanya, Pegringsingan-lah yang bidang pariwisatanya berkembang pesat akhir-akhir ini.
2.4  Evaluasi Perubahan Budaya Arsitektur Desa Masyarakat Bali
Pola permukiman desa Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem. Dengan awangan, rumah tinggal warga desa tersusun linier dari Utara-Selatan dengan pintu pekarangan/jelanan awang menghadap Barat atau Timur (Sumber: Hidratno 1973:Runa, 1993; Sudarma, 2003)
Lingkungan Desa Tenganan Pageringsingan, merupakan lingkungan "tertutup" dengan masing-masing sebuah pintu pada setiap arah mata angin. Untuk memasukinya, mesti melewati awangan yaitu rangkaian halaman depan masing-masing pekarangan rumah tinggal. Ciri kekunoannya, tampak sedang mengalami perubahan sangat mencolok, karena masyarakat tampak makin lama makin bersifat pragmatis. Padahal di masa lalu, kegiatan hampir seluruh warga Tenganan adalah kegiatan peribadatan; tak ada tanah milik pribadi, yang ada adalah tanah desa. Hal itu tampak bekas bekasnya di awangan.Bangunan baru beorientasi ke luar, bukaan tidak ke jelanan awangan lagi.
Awangan: ruang bersama tradisi Bali Aga
Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali (ciri kebudayaan megalitik) makin ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang satu dengan awangan lainnya yang saling berhadapan adalah sebuah selokan air yang disebut boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-masing pekarangan rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1 m - 1,5 m yang disebut teba pisan. Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari utara ke selatan adalah 3 buah yaitu awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan utama didirikan paling banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci), awangan tengah, dan awangan kangin (Timur) (Hidratno 1973: 2-17, Runa, 1993: 83 dalam Sudarma, 2003:30).
Perubahan: dahulunya digunakan untuk menyimpan alat-alat upacara dan pertanian tapi sekarang digunakan untuk memajang barang dagangan.
Dulu padi yang ditanam adalah padi lokal yang tahan lama disimpan, tetapi dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian maka padi yang ditanam tidak tahan lama disimpan sehingga jineng (kumbung) menjadi kosong) dan mungkin lama kelamaan hilang; kalau pun ada, bisa jadi bukan gabah bakal beras yang disimpan, tetapi barang kerajinan bakal dolar industri wisata seperti gambar di atas.
Dengan demikian maka awangan adalah halaman luar dari rumah tinggal, ruang sosial sekaligus sebagai jalan. Sedangkan teba sebagai halaman belakang letaknya di belakang dapur (paon) sehari-harinya merupakan tempat membuang kotoran dan memelihara babi. Kapling bangunan yang dipakai sebagai tempat tinggal disebut pekarangan yang terletak di tengah antara awangan dan teba. Menurut tradisi tutur adalah desa “keturunan prajurit Majapahit” (Pangarsa, 1992). Bisa jadi, tradisi permukiman Bali Aga dan Majapahit, sebetulnya tak berbeda jauh.
Dalam satu pekarangan ada beberapa tipe bangunan (bale-bale). Pintu masuk (jelanan awang atau kori ngeleb), bale buga (tempat upacara dan tempat menyimpan benda keramat milik desa, peralatan upacara/pertanian, serta tempat tidur orang tua), bale tengah (tempat upacara kelahiran /tebenan, upacara kematian/luanan; untuk tempat tidur, menerima tamu, menenun, dan dudukduduk ada "bale tambahan" yang disebut pelipir), paon termasuk pintu belakangnya, serta sangah kelod (tempat sembahyang dan sesajen untuk Brahma/Pertiwi di pojok Barat Laut, Wisnu/Betara Majapahit di Tenggara, dan Siwa/Hyang Guru di atas) merupakan bangunan-bangunan wajib yang harus dimiliki oleh tiap-tiap keluarga dengan berbagai ketentuan desa menyangkut letak, bentuk, serta bahannya, sedangkan bangunan lainnya seperti bale meten, kamar mandi/wc, dan sangah kaja (pesimpangan) merupakan bangunan tidak wajib atau dapat didirikan bangunan-bangunan lain sesuai dengan kehendak masing-masing keluarga.
Bale tengah. Bagian depannya untuk menyemayamkan jenasah, bagian belakang untuk melahirkan, bagian atasnya sebagai tempat menaruh padi kering (Modifikasi, Runa, 1993: 115; Sudarma, 2003:43).Sekarang fungsinya bertambah sebagai tempat memajang barang-barang seni serta bagian belakang sebagai tempat tidur sehari-hari.
Sejalan dengan tata fisik lingkungan desanya, maka tata, fisik masing-masing rumah tinggalnya juga menghasilkan terapan konsep dasar arsitektur tradisional yang sama, misalnya: bangunan-bangunan suci (bale buga, sanggah kelod, dan sanggah pesimpangan) letaknya di depan dekat awangan sebagai Utama Mandala, semakin ke pinggir terletak bangunan tempat tinggal (bale tengah dan bale meten) sebagai Madia Mandala, sedangkan paling di pinggir bangunan servis (paon dan km/wc) sebagai Nista Mandala (Sudarma, 2003:41).
Natah: dari pekarangan semi-privat menjadi show room
Adanya bangunan semi permanen pada sebagian besar natah/ pekarangan mengakibatkan pekarangan yang relatif kecil tersebut terasa semakin sumpek. Secara konsepsual, setelah tahun 1980-an, pola lingkungan Desa Adat Tenganan Pegringsingan belum berubah. Tapi perubahan-perubahan fisik berupa penambahan bangunan pada ruang desa dan pekarangan kini makin terasa. Awangan tetap sebagai daerah bernilai utama tempat sebagian besar bangunan religius. Semakin ke daerah pinggir, terletak pekarangan rumah tinggal daerah bernilai nista. Yang paling pinggir adalah kuburan. Fasilitas umum baru cenderung bertambah sejalan dengan program-program pembangunan pemerintah. Namun ada perubahan mencolok. Salah satu pengaruh adanya fasilitas umum baru adalah berkurangnya pekarangan rumah tinggal desa karena pada pekarangan yang kosong itulah pada umumnya fasilitas itu dibangun. Seperti bangunan rumah tinggal guru di sebelah selatan gedung sekolah dasar, fasilitas tersebut tidak hanya mengurangi pekarangan rumah tinggal milik desa, tapi juga merusak tatanan yang ada karena dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi setempat. Beberapa fasilitas umum baru lainnya (listrik, telepon, air bersih, parkir) dibangun sesuai dengan pola lingkungan yang sudah ada.
Menjadi pedagang membawa konsekuensi: natah disiasati menjadi ruang multifungsi sehingga menyebabkan di zona bale buga dibangun warung (gambar atas). Bale buga menjadi lebih kecil
Pada umumnya tata letak bangunan-bangunan (bale-bale) dalam pekarangan masih tetap mengikuti tata nilai Tri Mandala (utama-madia-nista). Bale yang dikategorikan suci seperti buga dan sanggah terletak di depan dekat awangan, bale profan seperti bale tengah dan meten terletak di tengah, sedangkan bangunan pelayanan seperti paon (dapur), kamar mandi/wc, serta ruang cuci terletak di belakang dekat teba. Pada beberapa pekarangan tempat berjualan mendominasi bale-bale lainnya.
Perubahan: rumah adat: fungsi rumah sebagai rumah tinggal dan ruko (ruang yang ada dalam rumah lebih banyak dipakai untuk kepentingan perdagangan) dan terjadi pengaburan; zona natah berubah sebagai tempat memajang barang-barang dagangan sehingga semua ruang seolah menempati nilai madya/nista (Modifikasi Runa, 1993: 99 dalam Sudarma, 2003:42).
Unit-unit bangunan baru selain bale-bale dan sanggah seperti ruang tidur, ruang kerja, tower air, dan gudang pada umumnya diletakkan di daerah nista. Kamar mandi/wc yang dulunya terbuka, kini hampir semua berupa kamar mandi/wc tertutup, letaknya di daerah nista sebelah selatan dapur. Bale meten dalam fungsi komersial untuk mengantisipasi industri wisata
Di balik variasi tata fisik tersebut tampaknya tersirat adanya kelompok status sosial: kelompok elit, kelompok terdidik, kelompok kaya serta kelompok hamba desa (wong angendok jenek). Kelompok elit atau bangsawan, statusnya tercermin pada bale buga yang besar (3 sela). Variasi perubahan unit-unit bangunan mereka relatif kecil (sedikit).
Kelompok terdidik/berpendidikan lebih tinggi dibanding warga lainnya, statusnya tercermin pada bangunan bale meten. Bale ini banyak berubah menjadi bangunan "modern" seperti di kota. Mereka membangun bangunan yang ruangnya kompleks, efisien, sistem strukturnya menyatu antara struktur utama, dengan struktur sekundernya, berfasade tertutup, serta cenderung menggunakan. material buatan. Pintu masuk pekarangan dilengkapi dengan ramp untuk memperlancar keluar masuknya kendaraan bermotornya.
Kelompok kaya, statusnya tercermin pada langgam bangunan yang digunakan yaitu langgam tradisional Majapahit dengan berbagai ornamen berbentuk pepalihan pepatran dan kekarangan dari material kayu, batu padas, dan batu bata. Pada beberapa rumah keseluruhan ornamen tersebut diukir. Tentu saja langgam tersebut memerlukan biaya cukup besar. Ciri lainnya adalah banyaknya barang dagangan dipajang pada bangunan, termasuk di halaman depan (awangan), natah ditutup, papan nama dan secara keseluruhan variasi perubahan rumah tinggalnya lebih besar dibanding kelompok elit desa.
Kelompok hamba desa (wong angendok jenek), yang ciri-cirinya antara lain pada kualitas unit bangunan umumnya lebih rendah dibanding ketiga kelompok sebelumnya. Tata letak dan dimensi bangunan sakral tidak sepenuhnya mengikuti aturan desa adat setempat; seperti tata letak sanggah kelod, sanggah kaja, bahkan pamerajannya, cenderung menggunakan material buatan yang murah dan praktis. Langgam yang dipakai kebanyakan tanpa ornamen, sistem struktur dan konstruksinya fungsional. Kelompok ini umumnya tinggal di Banjar Pande.
2.5 Budaya  Arsitektur Desa Bali Aga Tenganan
Pola permukiman desa kami mengelompok di tengah-tengah desa, dikelilingi oleh Bukit Kangin, Bukit Kauh dan Bukit Kaja. Sedangkan di selatan merupakan pintu keluar desa menuju Sedahan, desa tetangganya. Secara umum, struktur desa tersusun atas empat arah mata angin yang sekaligus merupakan ''lawangan''. Aktivitas kehidupan terletak pada bagian tengah, sementara sisi barat dan timur difungsikan untuk kuburan, sisi utara sebagai sumber ekonomi atau pertahanan pangan, dan sisi selatan difungsikan untuk pemujaan terhadap leluhur.
Permukiman terletak di sisi Barat Daya wilayah desa, menempati lahan seluas 300x800 meter. Permukiman terdiri dari tiga banjar, leretan yaitu Banjar Kauh di sebelah barat, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin atau Pande di sebelah timur. Banjar Kauh dan Tengah adalah banjar ‘asli’ Tenganan Pegringsingan, sementara Banjar Pande merupakan banjar yang dihuni warga yang pernah melanggar aturan adat dan orang luar yang diminta desa adat tinggal untuk keperluan upacara. Setiap warga Tenganan yang sudah menikah, terutama warga Banjar Kauh dan Tengah diharuskan berpisah dengan orang tuanya dan menempati rumah mereka sendiri yang dibangun di atas lahan kosong. Rumah yang dibangun harus mengikuti struktur rumah Tenganan.
Desa yang luasnya sekitar 1500 hektar ini tetap mempertahankan bangunan-bangunan penting dan rumah-rumahnya seperti aslinya, yatu tiga balai desa dan rumah-rumah adat yang berderet dan sama persis satu dengan lainnya. Sepanjang jalan setapak, terdapat ratusan rumah berderet berhimpitan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau batu kali yang ditambal dengan tanah. Uniknya, pintu masuk rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintu menyatu dengan atap rumah yang terbuat dari rumbia.
2.6  Keunikan Tradisi Perang Pandan
Dari berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di Tenganan, salah satu yang paling menarik adalah upacara Mekare kare atau Geret Pandan (perang pandan). Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) adalah bagian dari upacara "Sasih Sembah" yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.
Tempat pelaksanaan tradisi Perang Pandan  ini adalah di depan Bale Patemu (balai pertemuan yang ada di halaman desa). Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), dan para pria tanpa pakaian atas bertarung satu lawan satu berbekal pandan berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Sambil menari-nari mereka bergulet dan mengiris punggung lawan. Tangan kanannya memegang senjata pandan sedangkan tangan kiri mereka memegang perisai yang terbuat dari rotan. Duel ini dilakukan secara bergilir (kurang lebih selama 3 jam) dan wajib diikuti oleh semua pria di desa tersebut (mulai naik remaja). Seusai upacara tesebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.


2.7  Desa Tenganan Sebagai Desa Tradisional Wisata
Kekhasan lain dari Tenganan adalah kain geringsing yang hanya diproduksi di Tenganan. Kain geringsing dibuat dari bahan kapas Bali yang dipintal sendiri oleh warga setempat. Setelah menjadi benang, bahan tersebut kemudian di-bebet menurut motifnya. Untuk bahan pewarnaannya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dicelupkan/direndam sekitar satu bulan. Lamanya waktu proses awal hingga kainnya (1,5 meter x 20 cm) siap dipakai, dibutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Namun ada juga kain yang dibuat sampai puluhan tahun. Warga setempat menggunakan kain geringsing dipakai untuk keperluan upacara tradisional seperti Mulan Saat Usaba Kasa, Mulan Daha, Mekare-kare, dan lain-lain. Selain digunakan sebagai pakaian, kain geringsing juga dapat digunakan sebagai hiasan dinding, selendang, dan keperluan lainnya. Motif kain geringsing beraneka ragam bentuknya antara lain seperti pepare, kebo, lubeng, pat likur, petang dasa, putri, cempaka, daun, dan lain-lain. Motif-motif tersebut terdiri dari 3 warna yaitu merah (mencerminkan Dewa Brahma), warna putih (mencerminkan Dewa Wisnu), dan warna hitam (mencerminkan Dewa Siwa). Selain kain geringsing, kerajinan khas desa Tenganan adalah anyaman yang terbuat dari pohon ate dan kerajinan lontar yang berbentuk kalender Bali dan cerita Ramayana.
Kerajianan masyarakat Tenganan ini ditujukan untuk mendukung kegiatan pariwisata yang sudah dimulai sejak tahun 1930-an dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Namun pada dasarnya masyarakat mempunyai sumber ekonomi ganda yaitu sebagai pelaku pariwisata dan pemilik lahan pertanian.
Bedasarkan pemetaan yang dilakukan pemerintah pada tahun 2000, Desa Tenganan memiliki luas wilayah 917,2 hektar. Tanah di Tenganan sebagian besar (66,4%) adalah tegalan sekaligus berfungsi sebagai hutan yang belum tersentuh bahan kimia. Selain tegalan dan hutan, Tenganan juga memiliki areal seluas 25,73% lahan persawahan, dan 7,86% untuk pemukiman. Sayangnya dengan lahan seluas itu masyarakat Tenganan bukan petani sebenarnya. Sebagian besar hanya sebagai tuan tanah yang ''menyakapkan''/menyewakan tanahnya kepada para ''penggarap''. Hanya sebagian kecil yang masih pergi ke hutan dan mengambil hasilnya.
Sehingga saat ini lumbung di Tenganan tidak berfungsi secara optimal. Lumbung dirangcang dengan cara membuat ''langki'' yang ditujukan supaya tikus tidak bisa masuk ke lumbung. Dulu lumbung bisa digunakan sebagai tabungan karena difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi. Tetapi setelah revolusi hijau, budaya menyimpan padi sebagai tabungan sudah mulai menurun, bahkan hilang. Tanaman padi lokal mulai hilang sejak adanya revolusi hijau. Lumbung yang ada masih dimanfaatkan untuk menyimpang padi lokal, bahan upacara.
Sejak Tenganan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata kesakralan bertoleransi dengan profanisme. Orang luar diijinkan melihat dan mendengarkan hampir semua yang sakral di Tenganan, termasuk mengabadikan melalui foto atau video. Pada saat acara tersebut, kunjungan wisatawan meningkat tajam. Berbaur dengan pedagang ‘dadakan’ yang menggelar dagangannya di atas terpal atau menggunakan gerobak dorong, seperti pedagang di pasar malam.
Dampak industri wisata di Desa Adat Tenganan Pegringsingan antara lain:
·         Pergeseran itu menyangkut aktivitas mata pencaharian, pergaulan (sosial), sedangkan aktifitas yang menyangkut tuntutan adat masih tetap terjalin.
·         Tenganan Pegringsingan yang di masa lalu mengutamakan kepentingan spiritual dan kebersamaan kini secara nyata mulai bergeser ke arah kepentingan komersial dan pribadi. Hal tersebut juga tercermin dalam rumah tinggal masyarakat, baik halaman dalam (natah) maupun ruang dalamnya. Dalam pekarangan, masih terdiri beberapa tipe (unit) bangunan (bale-bale) dengan tata letak mengikuti tata nilai Tri Mandala, tetapi pada aktifitas sehari-hari maka terlihat adanya pengaburan fungsi bale-bale tersebut. Dalam hal ini unsur kepentingan ekonomi memegang kendali yang cukup besar dalam pemanfaatan ruang.
·         Pada sebagian besar pekarangan terjadi perluasan ke arah belakang (teba) sehingga daerah madia dan natah menjadi lebih luas untuk berfungsi sebagai tempat menjual barang-barang kerajinan. Dimensi bangunan sakral (buga) cenderung mengecil, sedangkan bangunan profan kecuali dapur (paon) cenderung membesar.
·         Organisasi unitunit bangunan/pekarangan tetap, tetapi unit-unit bangunan/pekarangan ada yang berorientasi keluar, tidak lagi ke halaman dalam (natah). Bangunan-bangunan yang tidak diwajibkan (untuk peribadatan) mengalami perubahan lebih besar dibandingkan bangunan-bangunan yang diwajibkan
·         Material bangunan cenderung menggunakan hasil industri (buatan) kecuali penutup atap bale buga.
·         Dalam pembangunan fasilitas-fasilitas baru maupun unit-unit bangunan, cenderung terjadinya modifikasi dari langgam-estetika klasik Desa Adat Tenganan Pegringsingan menuju langgam-estetika “kota besar”.
·         Fasade beberapa bangunan dalam pekarangan khususnya bangunan profan cenderung berpola tertutup, sedangkan dari luar pekarangan tetap berpola tertutup. Ruang-ruangnya cenderung komplek dan makin efisien. Langgam bangunannya cenderung menggunakan langgam tradisional Bali Daratan atau Patra Majapahit.
·         Proses pembangunannya masih tetap memperhatikan hari baik serta urutan pembangunan, namun dengan upacara yang lebih sederhana yaitu hanya upacara peletakan batu pertama dan pada melaspasannya.
·         Variasi perubahan bangunan suci (sakral) lebih sedikit dibandingkan bangunan yang tidak suci (profan); bangunan suci yang terkait dengan ritus desa lebih sulit berubah dibandingkan dengan bangunan suci yang terkait dengan ritus individu keluarga.










BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bersadarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai macam kebudayaan yang ada di Pulau Bali ini hendaknya kina kenali sejak dini dan dilestarikan keasliannya. Jangan terlalu mengikuti arus zaman hingga meninggalkan kebudayaan kita. Perubahan positif berhak kita terima dengan bijak sedangkan yang negative lebih baik tidak diikuti.  
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, saran yang dapat di ambil adalah yang diperlukan untuk melestarikan budaya kita adalah peranan segala lapisan masyarakat. Bukan hanya dititik beratkan pada pemerintah, melainkan diri kita sendiri yang menyikapi kebudayaan tersebut dengan bijaksana.






DAFTAR PUSTAKA
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin.2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Udayana University Press.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia Daerah Bali . 2003. Bali Objek dan Daya Tarik Wisata.

Senin, 28 Februari 2011

Bersama Kita Menuju Ajeg Bali

Agama Hindu bukanlah agama dogmatik, bukan agama yang berdasarkan atas dogma. Hindu adalah agama yang berdasarkan dharma. Hindu juga disebut sanatana dharma, atau kebenaran yang abadi.

Dimana Dogma adalah kepercayaan yang tidak boleh dipertanyakan dan yang selalu harus diyakini sebagai kebenaran, bahkan jika itu tidak masuk akal atau irasional.seperti:


  • kepercayaan bahwa semua manusia telah berdosa sejak lahir
  • kepercayaan tentang kebangkitan tubuh setelah mati
  • kepercayaan bahwa suatu agama telah memonopoli kebenaran
  • bahwa hanya pemeluk agama tersebut yang bisa masuk sorga
  • kepercayaan bahwa setiap manusia telah ditentukan nasibnya oleh Tuhan secara sepihak
  • kepercayaan boleh membunuh manusia lain yang tidak seagama demi untuk membela serta mengunggulkan agama yang dianutnya
Itulah contoh-contoh dogma yang irasional dari suatu agama tertentu namun harus diyakini oleh pemeluknya sebagai suatu kebenaran.

Pada masyarakat Agama Hindu terutama pada masyarakat Bali masih pecaya dengan leluhur mereka dimana dalam menjalankan hidup ini harus berdasarkan dharma.
Dharma adalah prinsip kebenaran universal dan kebenaran hukum alam abadi. Dharma adalah hukum universal yang dapat ditemukan melalui penyelidikan objektif.

Sebagai contoh, dharma sebagai sifat api suci; seseorang tidak dapat membayangkan api yang tidak membakar; dalam kaitan ini dharma akan selalu membakar atau memusnahkan adharma.
Dharma mempunyai prinsip-prinsip etika dan spiritual antara lain: dasar-dasar Yoga seperti: tidak menyakiti (ahimsa), kebenaran (satya) pengendalian diri (tapa), serta etika dan kewajiban manusia yang diulas dalam Yama dan Niyama-brata.
Prinsip dharma yang lain adalah hukum karma-phala, yakni buah dari segala perbuatan yang pasti akan diterima kembali oleh manusia baik di masa kini, di kehidupan kemudian, dan di dunia niskala.
Dengan berpegang pada hukum karma-phala manusia dibimbing untuk berbuat (kayika), berbicara (wacika), dan berpikir (manacika) yang baik.
Agama-agama dogmatik sangat menekankan pada iman yang harus diyakini secara bulat. Pemeluk agama jenis ini bisa mengatakan: “Percayalah, atau masuklah agama kami, maka kalian akan selamat dan masuk sorga”.
Tetapi Hindu sebagai agama yang berdasarkan dharma, akan selalu menekankan pada perilaku yang baik dalam berbuat, berkata, maupun berpikir. Seorang Hindu akan senantiasa menganjurkan: “Lakukanlah perbuatan, perkataan, dan pemikiran yang baik, maka kalian akan selamat.”
Akibat kaidah yang demikian pada kehidupan manusia adalah: Pemeluk agama-agama dogmatik memisahkan antara ibadah dengan perilaku, karena cukup dengan percaya saja dan taat melakukan ibadah sesuai kitab sucinya, sudah menjadi “jaminan” akan masuk sorga, atau dapat saja ibadah dianggap sebagai penghilang dosa.

Agama Hindu
 Pengertian Weda
Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Weda secara ethimologinya berasal dari kata "Vid" (bahasa sansekerta), yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Weda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Rsi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Weda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
Bahasa Weda
Bahasa yang dipergunakan dalam Weda disebut bahasa Sansekerta, Nama sansekerta dipopulerkan oleh maharsi Panini, yaitu seorang penulis Tata Bahasa Sensekerta yang berjudul Astadhyayi yang sampai kini masih menjadi buku pedoman pokok dalam mempelajari Sansekerta.
Sebelum nama Sansekerta menjadi populer, maka bahasa yang dipergunakan dalam Weda dikenal dengan nama Daiwi Wak (bahasa/sabda Dewata). Tokoh yang merintis penggunaan tatabahasa Sansekerta ialah Rsi Panini. Kemudian dilanjutkan oleh Rsi Patanjali dengan karyanya adalah kitab Bhasa. Jejak Patanjali diikuti pula oleh Rsi Wararuci.
Pembagian dan Isi Weda
Weda adalah kitab suci yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Berdasarkan materi, isi dan luas lingkupnya, maka jenis buku weda itu banyak. maha Rsi Manu membagi jenis isi Weda itu ke dalam dua kelompok besar yaitu Weda Sruti dan Weda Smerti. Pembagian ini juga dipergunakan untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan sebagai kitab Weda, baik yang telah berkembang dan tumbuh menurut tafsir sebagaimana dilakukan secara turun temurun menurut tradisi maupun sebagai wahyu yang berlaku secara institusional ilmiah. Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu, sedangkan kelompok Smerti isinya bersumber dari Weda Sruti, jadi merupakan manual, yakni buku pedoman yang sisinya tidak bertentangan dengan Sruti. Baik Sruti maupun Smerti, keduanya adalah sumber ajaran agama Hindu yang tidak boleh diragukan kebenarannya. Agaknya sloka berikut ini mempertegas pernyataan di atas.

    Srutistu wedo wijneyo dharma
    sastram tu wai smerth,
    te sarrtheswamimamsye tab
    hyam dharmohi nirbabhau. (M. Dh.11.1o).
Artinya:
Sesungguhnya Sruti adalah Weda, demikian pula Smrti itu adalah dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber ajaran agama Hindu. (Dharma)

    Weda khilo dharma mulam
    smrti sile ca tad widam,
    acarasca iwa sadhunam
    atmanastustireqaca. (M. Dh. II.6).
Artinya:
Seluruh Weda merupakan sumber utama dari pada agama Hindu (Dharma), kemudian barulah Smerti di samping Sila (kebiasaan- kebiasaan yang baik dari orang-orang yang menghayati Weda). dan kemudian acara yaitu tradisi dari orang-orang suci serta akhirnya Atmasturi (rasa puas diri sendiri).

    Srutir wedah samakhyato
    dharmasastram tu wai smrth,
    te sarwatheswam imamsye
    tabhyam dharmo winir bhrtah. (S.S.37).
Artinya:
Ketahuilah olehmu Sruti itu adalah Weda (dan) Smerti itu sesungguhnya adalah dharmasastra; keduanya harus diyakini kebenarannya dan dijadikan jalan serta dituruti agar sempurnalah dalam dharma itu.
Dari sloka-sloka diatas, maka tegaslah bahwa Sruti dan Smerti merupakan dasar utama ajaran Hindu yang kebenarannya tidak boleh dibantah. Sruti dan Smerti merupakan dasar yang harus dipegang teguh, supaya dituruti ajarannya untuk setiap usaha.
Untuk mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda, maka dibawah ini akan diuraikan tiap-tiap bagian dari Weda itu sebagai berikut:
SRUTI
Sruti adalah kitab wahyu yang diturunkan secara langsung oleh Tuhan (Hyang Widhi Wasa) melalui para maha Rsi. Sruti adalah Weda yang sebenarnya (originair) yang diterima melalui pendengaran, yang diturunkan sesuai periodesasinya dalam empat kelompok atau himpunan. Oleh karena itu Weda Sruti disebut juga Catur Weda atau Catur Weda Samhita (Samhita artinya himpunan). Adapun kitab-kitab Catur Weda tersebut adalah:
Rg. Weda atau Rg Weda Samhita.
Adalah wahyu yang paling pertama diturunkan sehingga merupakan Weda yang tertua. Rg Weda berisikan nyanyian-nyanyian pujaan, terdiri dari 10.552 mantra dan seluruhnya terbagi dalam 10 mandala. Mandala II sampai dengan VIII, disamping menguraikan tentang wahyu juga menyebutkan Sapta Rsi sebagai penerima wahyu. Wahyu Rg Weda dikumpulkan atau dihimpun oleh Rsi Pulaha.
Sama Weda Samhita.
Adalah Weda yang merupakan kumpulan mantra dan memuat ajaran mengenai lagu-lagu pujaan. Sama Weda terdiri dari 1.875 mantra. Wahyu Sama Weda dihimpun oleh Rsi Jaimini.
Yajur Weda Samhita.
Adalah Weda yang terdiri atas mantra-mantra dan sebagian besar berasal dari Rg. Weda. Yajur Weda memuat ajaran mengenai pokok-pokok yajus. Keseluruhan mantranya berjumlah 1.975 mantra. Yajur Weda terdiri atas dua aliran, yaitu Yayur Weda Putih dan Yayur Weda Hitam. Wahyu Yayur Weda dihimpun oleh Rsi Waisampayana.
Atharwa Weda Samhita
Adalah kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat magis. Atharwa Weda terdiri dari 5.987 mantra, yang juga banyak berasal dari Rg. Weda. Isinya adalah doa-doa untuk kehidupan sehari-hari seperti mohon kesembuhan dan lain-lain. Wahyu Atharwa Weda dihimpun oleh Rsi Sumantu.
Sebagaimana nama-nama tempat yang disebutkan dalam Rg. Weda maka dapat diperkirakan bahwa wahyu Rg Weda dikodifikasikan di daerah Punjab. Sedangkan ketiga Weda yang lain (Sama, Yayur, dan Atharwa Weda), dikodifikasikan di daerah Doab (daerah dua sungai yakni lembah sungai Gangga dan Yamuna.
Masing-masing bagian Catur Weda memiliki kitab-kitab Brahmana yang isinya adalah penjelasan tentang bagaimana mempergunakan mantra dalam rangkain upacara. Disamping kitab Brahmana, Kitab-kitab Catur Weda juga memiliki Aranyaka dan Upanisad.
Kitab Aranyaka isinya adalah penjelasan-penjelasan terhadap bagian mantra dan Brahmana. Sedangkan kitab Upanisad mengandung ajaran filsafat, yang berisikan mengenai bagaimana cara melenyapkan awidya (kebodohan), menguraikan tentang hubungan Atman dengan Brahman serta mengupas tentang tabir rahasia alam semesta dengan segala isinya. Kitab-kitab brahmana digolongkan ke dalam Karma Kandha sedangkan kitab-kitab Upanishad digolonglan ke dalam Jnana Kanda.
SMERTI
Smerti adalah Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas pengelompokan isi materi secara sistematis menurut bidang profesi. Secara garis besarnya Smerti dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yakni kelompok Wedangga (Sadangga), dan kelompok Upaweda.
Kelompok Wedangga:
Kelompok ini disebut juga Sadangga. Wedangga terdiri dari enam bidang Weda yaitu:
(1).Siksa (Phonetika)
Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang cara tepat dalam pengucapan mantra serta rendah tekanan suara.
(2).Wyakarana (Tata Bahasa)
Merupakan suplemen batang tubuh Weda dan dianggap sangat penting serta menentukan, karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti, tidak mungkin tanpa bantuan pengertian dan bahasa yang benar.
(3).Chanda (Lagu)
Adalah cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Sejak dari sejarah penulisan Weda, peranan Chanda sangat penting. Karena dengan Chanda itu, semua ayat-ayat itu dapat dipelihara turun temurun seperti nyanyian yang mudah diingat.
(4).Nirukta
Memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang terdapat di dalam Weda.
(5).Jyotisa (Astronomi)
Merupakan pelengkap Weda yang isinya memuat pokok-pokok ajaran astronomi yang diperlukan untuk pedoman dalam melakukan yadnya, isinya adalah membahas tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh di dalam pelaksanaan yadnya.
(6).Kalpa
Merupakan kelompok Wedangga (Sadangga) yang terbesar dan penting. Menurut jenis isinya, Kalpa terbagi atas beberapa bidang, yaitu bidang Srauta, bidang Grhya, bidang Dharma, dan bidang Sulwa. Srauta memuat berbagai ajaran mengenai tata cara melakukan yajna, penebusan dosa dan lain-lain, terutama yang berhubungan dengan upacara keagamaan. Sedangkan kitab Grhyasutra, memuat berbagai ajaran mengenai peraturan pelaksanaan yajna yang harus dilakukan oleh orang-orang yang berumah tangga. Lebih lanjut, bagian Dharmasutra adalah membahas berbagai aspek tentang peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dan Sulwasutra, adalah memuat peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan, misalnya Pura, Candi dan bangunan-bangunan suci lainnya yang berhubungan dengan ilmu arsitektur.
Kelompok Upaweda:
Adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok Upaweda terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
(1).Itihasa
Merupakan jenis epos yang terdiri dari dua macam yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kitan Ramayana ditulis oleh Rsi Walmiki. Seluruh isinya dikelompokkan kedalam tujuh Kanda dan berbentuk syair. Jumlah syairnya sekitar 24.000 syair. Adapun ketujuh kanda tersebut adalah Ayodhya Kanda, Bala Kanda, Kiskinda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda. Tiap-tiap Kanda itu merupakan satu kejadian yang menggambarkan ceritra yang menarik. Di Indonesia cerita Ramayana sangat populer yang digubah ke dalam bentuk Kekawin dan berbahasa Jawa Kuno. Kekawin ini merupakan kakawin tertua yang disusun sekitar abad ke-8.
Disamping Ramayana, epos besar lainnya adalah Mahabharata. Kitab ini disusun oleh maharsi Wyasa. Isinya adalah menceritakan kehidupan  keluarga Bharata dan menggambarkan pecahnya perang saudara diantara bangsa Arya sendiri. Ditinjau dari arti Itihasa (berasal dari kata "Iti", "ha" dan "asa" artinya adalah "sesungguhnya kejadian itu begitulah nyatanya") maka Mahabharata itu gambaran sejarah, yang memuat mengenai kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran Hindu. Kitab Mahabharata meliputi 18 Parwa, yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Mahaprastanikaparwa, dan Swargarohanaparwa.
Diantara parwa-parwa tersebut, terutama di dalam Bhismaparwa terdapatlah kitab Bhagavad Gita, yang amat masyur isinya adalah wejangan Sri Krsna kepada Arjuna tentang ajaran filsafat yang amat tinggi.
(2).Purana
Merupakan kumpulan cerita-cerita kuno yang menyangkut penciptaan dunia dan silsilah para raja yang memerintah di dunia, juga mengenai silsilah dewa-dewa dan bhatara, cerita mengenai silsilah keturunaan dan perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa serta memuat ceitra-ceritra yang menggambarkan pembuktian-pembuktian hukum yang pernah di jalankan. Selain itu Kitab Purana juga memuat pokok-pokok pemikiran yang menguraikan tentang ceritra kejadian alam semesta, doa-doa dan mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ke tempat-tempat suci. Dan yang terpenting dari kitab-kitab Purana adalah memuat pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ketuhanan) yang dianut menurut berbagai madzab Hindu. Adapun kitab-kitab Purana itu terdiri dari 18 buah, yaitu Purana, Bhawisya Purana, Wamana Purana, Brahma Purana, Wisnu Purana, Narada Purana, Bhagawata Purana, Garuda Purana, Padma Purana, Waraha Purana, Matsya Purana, Kurma Purana, Lingga Purana, Siwa Purana, Skanda Purana dan Agni Purana.
(3).Arthasastra
Adalah jenis ilmu pemerintahan negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran ilmu politik. Sebagai cabang ilmu, jenis ilmu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau pula Dandaniti. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan ke dalam jenis ini adalah kitab Usana, Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Ada beberapa Acarya terkenal di bidang Nitisastra adalah Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan Rsi Canakya.
(4).Ayur Weda
Adalah kitab yang menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rohani dengan berbagai sistem sifatnya. Ayur Weda adalah filsafat kehidupan, baik etis maupun medis. Oleh karena demikian, maka luas lingkup ajaran yang dikodifikasikan di dalam Ayur Weda meliputi bidang yang amat luas dan merupakan hal-hal yang hidup. Menurut isinya, Ayur Weda meliptui delapan bidang ilmu, yaitu ilmu bedah, ilmu penyakit, ilmu obat-obatan, ilmu psikotherapy, ilmu pendiudikan anak-anak (ilmu jiwa anak), ilmu toksikologi, ilmu mujizat dan ilmu jiwa remaja.
Disamping Ayur Weda, ada pula kitab Caraka Samhita yang ditulis oleh Maharsi Punarwasu. Kitab inipun memuat delapan bidan ajaran (ilmu), yakni Ilmu pengobatan, Ilmu mengenai berbagai jens penyakit yang umum, ilmu pathologi, ilmu anatomi dan embriologi, ilmu diagnosis dan pragnosis, pokok-pokok ilmu therapy, Kalpasthana dan Siddhistana. Kitab yang sejenis pula dengan Ayurweda, adalah kitab Yogasara dan Yogasastra. Kitab ini ditulis oleh Bhagawan Nagaryuna. isinya memuat pokok-pokok ilmu yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya dalam pembinaan kesehatan jasmani dan rohani.
(5).Gandharwaweda
Adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang ilmu seni. Ada beberapa buku penting yang termasuk Gandharwaweda ini adalah Natyasastra (yang meliputi Natyawedagama dan Dewadasasahasri), Rasarnawa, Rasaratnasamuscaya dan lain-lain.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa kelompok Weda Smerti meliptui banyak buku dan kodifikasinya menurut jenis bidang-bidang tertentu. Ditambah lagi kitab-kitab agama misalnya Saiwa Agama, Vaisnawa Agama dan Sakta Agama dan kitab-kitab Darsana yaitu Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Wedanta. Kedua terakhir ini termasuk golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad. Dengan uraian ini kiranya dapat diperkirakan betapa luasnya Weda itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Di dalam ajaran Weda, yang perlu adalah disiplin ilmu, karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek dengan sumber-sumber yang pasti pula. Hal inilah yang perlu diperhatikan dan dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.
Sehingga dengan ini mari kita Ajegkan Bali dengan bersama.