Kamis, 03 Maret 2011

TRADISI DESA ADAT TENGANAN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu sendiri. Menurut penelitian, identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali sendiri dan ada pula yang datang dari pulau Jawa. Penduduk asli daerah Bali berasal dari keluarga besar Autronesia  dan diperkirakan telah masuk ke Pulau Bali dua abad SM dan penduduk ini bertempak tinggal di desa tradisonal yang dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga. Dalam perkembangan berikutnya barulah masuknya orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe Desa Apanaga.
Orang-orang Bali yang termasuk ke dalam kelompok Bali Aga adalah mereka yang berdiam di Pulau Bali  mendahului orang Bali Apanaga. Ini bermaksud untuk memberikan keterangan tentang orang Bali dengan kebudayaan Pra Hindu dengan orang Bali dengan Kebudayaan Hindu. Perbedaan ini terutama pada faktor geneologis dan faktor budaya. Perbedaan faktor geneologis, yaitu orang Bali Aga adalah termasuk ke dalam orang Bali Apanaga ditambah dengan orang Bali keturunan Mongoloid. Sedangkan orang Bali Apanaga atau orang Bali dataran Jawa Hindu yang datang ke  Bali melalui persebaran penduduk ekspedisi, seperti ekspedisi Singasari 1284 M dan ekspidisi Gajah Mada tahun 1343 M.
Perbedaan faktor budaya, sangat terlihat jelas antara Desa Bali aga dan Desa Apanaga karena pada umunya Desa Bali Aga terletak didaerah-daerah pegunungan yang sangat jauh dengan hirup-pikuk perkembangan kehidupan, seperti di daerah Kintamani, Karangasem dan lainnya. Arsitektur atau pola bangunan desanya pun masih tertata secara tradisi dan klasik. Masih terdapat rumah adat, komplek desa induk, tempat-tempat yang disakralkan di desa, serta aturan atau awig-awig yang sangat dipatuhi oleh penduduk desa. Sedangkan pada desa Apanaga sistem kehidupan lebih kompleks dan fleksibel untuk menerima dan menyaring semua pengaruh dari luar. Walaupun Desa Bali Aga tidak terlalu kaku untuk menerima perubahan tetapi mereka tetap menjujung tinggi tradisi turun-temurun nenek moyang dan leluhur masing-masing.
Dalam mempelajari kebudayaan asli maupun kebudayaan yang telah bercampur dengan kebudayaan lain sesuai perkembangan zaman tentunya yang kita pelajari adalah suatu peninggalan sejarah kebudayaan yang nyata dan tetap menyimpan makna sendiri dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Sejarah nyata dari suatu kebudayaan dapat berupa karya seni berbagai bentuk. Kususnya daerah Bali dengan desa-desanya. Kebudayaannya tetap dijaga dengan mengedepankan seni arsitektur untuk menjunjung nenek moyang, leluhur dan Tuhan yang Maha Kuasa dan seni yang digunakan saat upacar-upacara sakral umat Hindu di bali.
Salah satu kebudayaan yang menjadi sejarah lokal Bali adalah berupa kebudayaan dalam bentuk seni bangunan.  Berdasarkan kepercayaan Autronesia (Melayu Polinesia), makna sebuah Pura dalam masa prehistoric Bali bukanlah berbentuk candi, melainkan hanya sebuah lapangan atau ruangan terbuka yang dikelilingi oleh suatu pembatas tertentu yang bermakna penghalang bagi masuknya pengaruh negative. Disini Pula di puja Dewa-Dewa alam seperti Dewa Matahari, Dewa Gunung, Dewa Laut dan Dewa-dewa lainnya serta arwah nenek moyangnya agar mau turun pada batu-batu besar yang telah disediakan sebagai stananya.
Khususnya di Desa Tenganan arsitektur desa Tenganan terbangun secara Linear yang terdiri atas enam leret dipisahkan oleh tiga jalan atau awangan. Awangan Barat, Awangan Tengah, Awangan Timur. Pembagian oleh tiga jalan tersebut telah membentuk enam leret pemukiman. Semua tradisi di desa Tenganan masih hidup dan berkembang dalam tatanan hukum adat dan awig-awig desan yang merefleksikan adanya keharmonisan hubungan manusia dan Tuhan. Manusia dengan manusia hidup dilingkungan dengan konsep Tri Hita Karana.
Kekhasan budaya lainnya yang sangat menonjol di daerah Tenganan ini adalah tradisi Mekare-kare setiap bulan Juni yaitu tradisi perang pandan dalam konteks ritual, nilai religious, semangat perjuangan dan uji ketangguhan fisik yang diiringin gambelan tradisional selonding.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengangkat tema tentang masalah kebudayaan masyarakat asli wilayah Bali atau masyarakat Bali Aga. Sehingga penulis memandang perlu untuk nginformasikan kebudayaan terpendam di desa Tenganan dengan tujuan pelestarian Budaya. Dengan ini penulis mengambil judul “KEBUDAYA ARSITEKTUR DESA TENGANAN DAN KEUNIKAN TRADISI PERANG PANDAN SEBAGAI DESA TRADISIONAL WISATA BALI”.
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:


1.      Bagaimana menjaga budaya arsitektur asli desa Tenganan dengan berbagai kemajuan di bidang seni bangunan zaman sekarang ini?
2.      Mengapa upacara Perang Pandan tetap dilestarikan oleh masyarakat Tenganan dan apakah timbul konflik saat usainya Perang Pandan ?
3.      Apakah kebudayaan di desa Tenganan hanya dijadikan objek wisata untuk menunjang kehidupan ekonomi masyarakat desa?

1.3 METODE PENELITIAN
1.3.1 Metode Pengumpulan Data
-  Metode Pustaka
   Metode Pustaka yang dimaksud adalah dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis, yaitu buku-buku, surat kabar  yang berhubungan mengenai budaya arsitektur atau pola bangunan, keunikan tradisi perang pandan dan desa tradisional wisata.
1.3.2 Jenis Sumber Data
Penulis mengumpulkan dan menggunakan data tertulis yang didapati dari sumber-sumber artikel dan buku. Dan penulis juga langsung datang mengamati pola arsitektur desa.

1.4 TUJUAN PENELITIAN
Mendeskripsikan upaya untuk menjaga budaya arsitektur asli desa Tenganan Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan utama dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      dengan berbagai kemajuan di bidang seni bangunan zaman sekarang ini.
2.      Mendeskripsikan fungsi upacara Perang Pandan yang tetap dilestarikan oleh masyaarkat Tenganan.
3.      Mendeskripsikan peran kebudayaan desa tenganan untuk menjadi desa tradisional wisata yang dapat membantu kehidupan masyarakat desa.
1.5 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi masyarakat
·         Tulisan ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui bagaimana peran masyarakat asli untuk melestarikan kebudayaan asli setempat
·         Tulisan ini juga dapat digunakan untuk menambah kecintaan masyarakat terhadap arsitektur dan keunikan budaya tradisonal asli masyarakat Bali. Sehingga timbul rasa memiliki dan kebanggaan.

2.      Bagi penulis
·         Dengan melakukan penulisan ini, penulis mendapat banyak informasi mengenai budaya arsitektur desa Tenganan dan keunikan tradisi perang pandan sebagai desa tradisional wisata. Dan memotifasi penulis untuk lebih mencintai kebudayaan Bali.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Dan Letak Geografis dan Arsitektur Desa Tenganan
Sejarah desa Tenganan terungkap dalam beberapa versi: versi pertama daerah Tenganan berawal saat pemerintahan Raja Maya Denawa. Ketika itu Raja dikenal sangat otoriter dan menganggap dirinya sebagai Tuhan dan melarang masyarakatnya melakukan persembahan kepada Tuhan. Para dewa menjadi sangat murka dan mengutus Dewa Indra untuk memerangi Raja Maya Denawa.
Setelah Dewa Indra dapat mengalahkan Raja Maya Denawa, dilakukan satu upacara untuk membersihkan dan menyucikan kembali tempat peperangan dan dunia secara keseluruhan. Upacara yang dilakukan disebut dengan ''Asvameda Yadnya'', menggunakan Oncesrawa, kuda putih milik Dewa Indra sebagai korban persembahan. Ketika mengetahui dirinya akan dijadikan korban, kuda Oncesrawa melarikan diri dan menghilang.
Dewa Indra kemudian mengutus ''wong peneges''--prajurit Bedahulu-- untuk mencari kuda tersebut. Mereka membagi diri menjadi dua, satu kelompok ke arah Singaraja dan kelompok yang lain ke arah Karangasem. Kelompok yang pergi ke arah Karangasem kemudian menemukan bangkai kuda Oncesrawa di lereng bukit, di daerah utara. Karena kecintaannya terhadap kuda tersebut, ''wong peneges'' memohon kepada Dewa Indra agar mengijinkan mereka tinggal di sekitar Batu Jaran, tempat bangkai kuda ditemukan.
Dewa Indra mengabulkan permohonan ''wong peneges'' dan memberikan hadiah atas usaha mereka. Hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra berupa wilayah kekuasaan, dengan batasan luas sampai bau bangkai kuda tidak lagi tercium. Karena menginginkan wilayah yang luas, ''wong peneges'' kemudian memotong bangkai kuda dan dibawa berjalan sejauh mungkin. Tindakan tersebut diketahui oleh Dewa Indra yang kemudian datang dan berdiri di sebuah tempat yang saat ini dikenal dengan Batu Madeg. Ketika Dewa Indra tiba di Batu Madeg, ''wong peneges'' sudah sampai di satu daerah yang cukup jauh. Dewa Indra melambaikan tangan dari Batu Madeg dan memberitahukan bahwa wilayah yang ingin dikuasai ''wong peneges'' sudah cukup luas. Pada tempat ''wong peneges'' tersebut berhenti kemudian didirikan Pura Pengulap-ulapan.
Tempat diletakkannya masing-masing potongan bangkai kuda kemudian diberi nama, dan sampai sekarang masih bisa ditemukan batu yang menyerupai masing-masing potongan bangkai tersebut. Potongan-potongan tubuh bangkai kuda tersebut menyebar di seluruh wilayah dan menjadi batas wilayah yang kemudian dikenal dengan Desa Tenganan Pegringsingan.
Karena wilayah Tenganan Pegringsingan merupakan hadiah yang diberikan oleh Dewa Indra, maka masyarakatnya menganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai dewa perang mempengaruhi struktur permukiman desa Tenganan Pegringsingan yang terkait dengan pertahanan diri. Strukturnya dinamakan ''jaga satru'' artinya waspada terhadap musuh, dilindungi benteng dengan empat ''lawangan'', pintu di setiap mata angin. Dengan menelusuri masa pemerintahan Raja Maya Denawa, maka diperkirakan Desa Tenganan berdiri sekitar abad XIV. Versi kedua, penemuan arkeolog R.Goris yang menyatakan bahwa desa Tenganan dikenal dalam salah satu prasasti Bali dengan nama Tranganan. Prasasti ini menunjukkan angka sekitar abad XIV dan XV. Versi ketiga, menurut lontar Usana Bali, penduduk desa Tenganan bersembahyang ke pura Bukit Lempuyang berjalan menelusuri pantai Candi Dasa kepantai timur sekitar abad X dan XI.
2.2 Sejarah Upacara Perang Pandan
Perang pandan adalah ritual tarian Perang Pandan yang pada dasarnya adalah upacara untuk Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, untuk menjaga keselamatan desa dan juga mungkin ada hubungannya  dengan pengorbanan darah. Acara ini hanya bisa disaksikan di desa ini, dua hari berturut turut. Awalnya ada persiapan, termasuk persembahan di pura, pemotongan pandan dan makan bersama. Acara perang pandan di mulai pukul 2 siang, dan pihak luar boleh bergabung selama memakai pakaian tradisional sarung dan topi. Sebelum perang dilaksanakan, tuak di tuang ke tanah. Suara teriakan dan tawa menghidupkan suasana. Sekitar jam 4 sore, acara selesai dan dilanjutkan dengan mengolesi luka dengan ramuan rempah dan diikuti makan bersama di balai perkumpulan. Semuanya berjalan damai dan menikmati suasana yang lebih mirip perayaan.
2.3 Desa Tenganan Sebagai Desa Tradisional Wisata
Di Bali desa adat tertua dalam budaya Bali adalah desa adat Tenganan Pagringsingan yang didiami penduduk Bali Aga (Bali Asli) di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, sebuah desa terpencil, sekitar 85 km dari Denpasar, yang menjadi tujuan wisata lebih dikarenakan adat dan tradisi benar-benar dijaga di sini, bahkan bisa dibilang terjaga dari arus perkembangan jaman yang begitu pesat di sekelilingnya.
Bila memasuki desa Tenganan ini memang terasa sekali perpaduan antara “yang kuno” dan “yang modern” dan menjadi daya tarik tersendiri, yaitu terpancarnya suasanan magis dan eksotisme yang muncul dari keaslian tatanan desa yang dipegang erat penduduknya. Masyarakat Tenganan mentaati peraturan desa yang amat kuat, yang bernama awig-awig (peraturan adat tertulis) dan telah ada sejak abad  XI dan diperbaharui pada tahun 1842. Salah satu peraturannya adalah mengharuskan warganya untuk hanya menikah dengan sesama warga di dalam desa adat ini.
Secara administratif desa Tenganan terbagi dalam lima banjar dinas, yakni Pegringsingan, Dauh Tukad, Gumung, Bukit Kangin, dan Bukit Kauh. Khusus Pegringsingan dan Dauh Tukad, keduanya memiliki banyak kesamaan dalam budaya. Dua wilayah ini pula yang menjadi desa wisata budaya. Dari keduanya, Pegringsingan-lah yang bidang pariwisatanya berkembang pesat akhir-akhir ini.
2.4  Evaluasi Perubahan Budaya Arsitektur Desa Masyarakat Bali
Pola permukiman desa Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem. Dengan awangan, rumah tinggal warga desa tersusun linier dari Utara-Selatan dengan pintu pekarangan/jelanan awang menghadap Barat atau Timur (Sumber: Hidratno 1973:Runa, 1993; Sudarma, 2003)
Lingkungan Desa Tenganan Pageringsingan, merupakan lingkungan "tertutup" dengan masing-masing sebuah pintu pada setiap arah mata angin. Untuk memasukinya, mesti melewati awangan yaitu rangkaian halaman depan masing-masing pekarangan rumah tinggal. Ciri kekunoannya, tampak sedang mengalami perubahan sangat mencolok, karena masyarakat tampak makin lama makin bersifat pragmatis. Padahal di masa lalu, kegiatan hampir seluruh warga Tenganan adalah kegiatan peribadatan; tak ada tanah milik pribadi, yang ada adalah tanah desa. Hal itu tampak bekas bekasnya di awangan.Bangunan baru beorientasi ke luar, bukaan tidak ke jelanan awangan lagi.
Awangan: ruang bersama tradisi Bali Aga
Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali (ciri kebudayaan megalitik) makin ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang satu dengan awangan lainnya yang saling berhadapan adalah sebuah selokan air yang disebut boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-masing pekarangan rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1 m - 1,5 m yang disebut teba pisan. Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari utara ke selatan adalah 3 buah yaitu awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan utama didirikan paling banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci), awangan tengah, dan awangan kangin (Timur) (Hidratno 1973: 2-17, Runa, 1993: 83 dalam Sudarma, 2003:30).
Perubahan: dahulunya digunakan untuk menyimpan alat-alat upacara dan pertanian tapi sekarang digunakan untuk memajang barang dagangan.
Dulu padi yang ditanam adalah padi lokal yang tahan lama disimpan, tetapi dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian maka padi yang ditanam tidak tahan lama disimpan sehingga jineng (kumbung) menjadi kosong) dan mungkin lama kelamaan hilang; kalau pun ada, bisa jadi bukan gabah bakal beras yang disimpan, tetapi barang kerajinan bakal dolar industri wisata seperti gambar di atas.
Dengan demikian maka awangan adalah halaman luar dari rumah tinggal, ruang sosial sekaligus sebagai jalan. Sedangkan teba sebagai halaman belakang letaknya di belakang dapur (paon) sehari-harinya merupakan tempat membuang kotoran dan memelihara babi. Kapling bangunan yang dipakai sebagai tempat tinggal disebut pekarangan yang terletak di tengah antara awangan dan teba. Menurut tradisi tutur adalah desa “keturunan prajurit Majapahit” (Pangarsa, 1992). Bisa jadi, tradisi permukiman Bali Aga dan Majapahit, sebetulnya tak berbeda jauh.
Dalam satu pekarangan ada beberapa tipe bangunan (bale-bale). Pintu masuk (jelanan awang atau kori ngeleb), bale buga (tempat upacara dan tempat menyimpan benda keramat milik desa, peralatan upacara/pertanian, serta tempat tidur orang tua), bale tengah (tempat upacara kelahiran /tebenan, upacara kematian/luanan; untuk tempat tidur, menerima tamu, menenun, dan dudukduduk ada "bale tambahan" yang disebut pelipir), paon termasuk pintu belakangnya, serta sangah kelod (tempat sembahyang dan sesajen untuk Brahma/Pertiwi di pojok Barat Laut, Wisnu/Betara Majapahit di Tenggara, dan Siwa/Hyang Guru di atas) merupakan bangunan-bangunan wajib yang harus dimiliki oleh tiap-tiap keluarga dengan berbagai ketentuan desa menyangkut letak, bentuk, serta bahannya, sedangkan bangunan lainnya seperti bale meten, kamar mandi/wc, dan sangah kaja (pesimpangan) merupakan bangunan tidak wajib atau dapat didirikan bangunan-bangunan lain sesuai dengan kehendak masing-masing keluarga.
Bale tengah. Bagian depannya untuk menyemayamkan jenasah, bagian belakang untuk melahirkan, bagian atasnya sebagai tempat menaruh padi kering (Modifikasi, Runa, 1993: 115; Sudarma, 2003:43).Sekarang fungsinya bertambah sebagai tempat memajang barang-barang seni serta bagian belakang sebagai tempat tidur sehari-hari.
Sejalan dengan tata fisik lingkungan desanya, maka tata, fisik masing-masing rumah tinggalnya juga menghasilkan terapan konsep dasar arsitektur tradisional yang sama, misalnya: bangunan-bangunan suci (bale buga, sanggah kelod, dan sanggah pesimpangan) letaknya di depan dekat awangan sebagai Utama Mandala, semakin ke pinggir terletak bangunan tempat tinggal (bale tengah dan bale meten) sebagai Madia Mandala, sedangkan paling di pinggir bangunan servis (paon dan km/wc) sebagai Nista Mandala (Sudarma, 2003:41).
Natah: dari pekarangan semi-privat menjadi show room
Adanya bangunan semi permanen pada sebagian besar natah/ pekarangan mengakibatkan pekarangan yang relatif kecil tersebut terasa semakin sumpek. Secara konsepsual, setelah tahun 1980-an, pola lingkungan Desa Adat Tenganan Pegringsingan belum berubah. Tapi perubahan-perubahan fisik berupa penambahan bangunan pada ruang desa dan pekarangan kini makin terasa. Awangan tetap sebagai daerah bernilai utama tempat sebagian besar bangunan religius. Semakin ke daerah pinggir, terletak pekarangan rumah tinggal daerah bernilai nista. Yang paling pinggir adalah kuburan. Fasilitas umum baru cenderung bertambah sejalan dengan program-program pembangunan pemerintah. Namun ada perubahan mencolok. Salah satu pengaruh adanya fasilitas umum baru adalah berkurangnya pekarangan rumah tinggal desa karena pada pekarangan yang kosong itulah pada umumnya fasilitas itu dibangun. Seperti bangunan rumah tinggal guru di sebelah selatan gedung sekolah dasar, fasilitas tersebut tidak hanya mengurangi pekarangan rumah tinggal milik desa, tapi juga merusak tatanan yang ada karena dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi setempat. Beberapa fasilitas umum baru lainnya (listrik, telepon, air bersih, parkir) dibangun sesuai dengan pola lingkungan yang sudah ada.
Menjadi pedagang membawa konsekuensi: natah disiasati menjadi ruang multifungsi sehingga menyebabkan di zona bale buga dibangun warung (gambar atas). Bale buga menjadi lebih kecil
Pada umumnya tata letak bangunan-bangunan (bale-bale) dalam pekarangan masih tetap mengikuti tata nilai Tri Mandala (utama-madia-nista). Bale yang dikategorikan suci seperti buga dan sanggah terletak di depan dekat awangan, bale profan seperti bale tengah dan meten terletak di tengah, sedangkan bangunan pelayanan seperti paon (dapur), kamar mandi/wc, serta ruang cuci terletak di belakang dekat teba. Pada beberapa pekarangan tempat berjualan mendominasi bale-bale lainnya.
Perubahan: rumah adat: fungsi rumah sebagai rumah tinggal dan ruko (ruang yang ada dalam rumah lebih banyak dipakai untuk kepentingan perdagangan) dan terjadi pengaburan; zona natah berubah sebagai tempat memajang barang-barang dagangan sehingga semua ruang seolah menempati nilai madya/nista (Modifikasi Runa, 1993: 99 dalam Sudarma, 2003:42).
Unit-unit bangunan baru selain bale-bale dan sanggah seperti ruang tidur, ruang kerja, tower air, dan gudang pada umumnya diletakkan di daerah nista. Kamar mandi/wc yang dulunya terbuka, kini hampir semua berupa kamar mandi/wc tertutup, letaknya di daerah nista sebelah selatan dapur. Bale meten dalam fungsi komersial untuk mengantisipasi industri wisata
Di balik variasi tata fisik tersebut tampaknya tersirat adanya kelompok status sosial: kelompok elit, kelompok terdidik, kelompok kaya serta kelompok hamba desa (wong angendok jenek). Kelompok elit atau bangsawan, statusnya tercermin pada bale buga yang besar (3 sela). Variasi perubahan unit-unit bangunan mereka relatif kecil (sedikit).
Kelompok terdidik/berpendidikan lebih tinggi dibanding warga lainnya, statusnya tercermin pada bangunan bale meten. Bale ini banyak berubah menjadi bangunan "modern" seperti di kota. Mereka membangun bangunan yang ruangnya kompleks, efisien, sistem strukturnya menyatu antara struktur utama, dengan struktur sekundernya, berfasade tertutup, serta cenderung menggunakan. material buatan. Pintu masuk pekarangan dilengkapi dengan ramp untuk memperlancar keluar masuknya kendaraan bermotornya.
Kelompok kaya, statusnya tercermin pada langgam bangunan yang digunakan yaitu langgam tradisional Majapahit dengan berbagai ornamen berbentuk pepalihan pepatran dan kekarangan dari material kayu, batu padas, dan batu bata. Pada beberapa rumah keseluruhan ornamen tersebut diukir. Tentu saja langgam tersebut memerlukan biaya cukup besar. Ciri lainnya adalah banyaknya barang dagangan dipajang pada bangunan, termasuk di halaman depan (awangan), natah ditutup, papan nama dan secara keseluruhan variasi perubahan rumah tinggalnya lebih besar dibanding kelompok elit desa.
Kelompok hamba desa (wong angendok jenek), yang ciri-cirinya antara lain pada kualitas unit bangunan umumnya lebih rendah dibanding ketiga kelompok sebelumnya. Tata letak dan dimensi bangunan sakral tidak sepenuhnya mengikuti aturan desa adat setempat; seperti tata letak sanggah kelod, sanggah kaja, bahkan pamerajannya, cenderung menggunakan material buatan yang murah dan praktis. Langgam yang dipakai kebanyakan tanpa ornamen, sistem struktur dan konstruksinya fungsional. Kelompok ini umumnya tinggal di Banjar Pande.
2.5 Budaya  Arsitektur Desa Bali Aga Tenganan
Pola permukiman desa kami mengelompok di tengah-tengah desa, dikelilingi oleh Bukit Kangin, Bukit Kauh dan Bukit Kaja. Sedangkan di selatan merupakan pintu keluar desa menuju Sedahan, desa tetangganya. Secara umum, struktur desa tersusun atas empat arah mata angin yang sekaligus merupakan ''lawangan''. Aktivitas kehidupan terletak pada bagian tengah, sementara sisi barat dan timur difungsikan untuk kuburan, sisi utara sebagai sumber ekonomi atau pertahanan pangan, dan sisi selatan difungsikan untuk pemujaan terhadap leluhur.
Permukiman terletak di sisi Barat Daya wilayah desa, menempati lahan seluas 300x800 meter. Permukiman terdiri dari tiga banjar, leretan yaitu Banjar Kauh di sebelah barat, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin atau Pande di sebelah timur. Banjar Kauh dan Tengah adalah banjar ‘asli’ Tenganan Pegringsingan, sementara Banjar Pande merupakan banjar yang dihuni warga yang pernah melanggar aturan adat dan orang luar yang diminta desa adat tinggal untuk keperluan upacara. Setiap warga Tenganan yang sudah menikah, terutama warga Banjar Kauh dan Tengah diharuskan berpisah dengan orang tuanya dan menempati rumah mereka sendiri yang dibangun di atas lahan kosong. Rumah yang dibangun harus mengikuti struktur rumah Tenganan.
Desa yang luasnya sekitar 1500 hektar ini tetap mempertahankan bangunan-bangunan penting dan rumah-rumahnya seperti aslinya, yatu tiga balai desa dan rumah-rumah adat yang berderet dan sama persis satu dengan lainnya. Sepanjang jalan setapak, terdapat ratusan rumah berderet berhimpitan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau batu kali yang ditambal dengan tanah. Uniknya, pintu masuk rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintu menyatu dengan atap rumah yang terbuat dari rumbia.
2.6  Keunikan Tradisi Perang Pandan
Dari berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di Tenganan, salah satu yang paling menarik adalah upacara Mekare kare atau Geret Pandan (perang pandan). Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) adalah bagian dari upacara "Sasih Sembah" yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.
Tempat pelaksanaan tradisi Perang Pandan  ini adalah di depan Bale Patemu (balai pertemuan yang ada di halaman desa). Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), dan para pria tanpa pakaian atas bertarung satu lawan satu berbekal pandan berduri yang diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada. Sambil menari-nari mereka bergulet dan mengiris punggung lawan. Tangan kanannya memegang senjata pandan sedangkan tangan kiri mereka memegang perisai yang terbuat dari rotan. Duel ini dilakukan secara bergilir (kurang lebih selama 3 jam) dan wajib diikuti oleh semua pria di desa tersebut (mulai naik remaja). Seusai upacara tesebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.


2.7  Desa Tenganan Sebagai Desa Tradisional Wisata
Kekhasan lain dari Tenganan adalah kain geringsing yang hanya diproduksi di Tenganan. Kain geringsing dibuat dari bahan kapas Bali yang dipintal sendiri oleh warga setempat. Setelah menjadi benang, bahan tersebut kemudian di-bebet menurut motifnya. Untuk bahan pewarnaannya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang dicelupkan/direndam sekitar satu bulan. Lamanya waktu proses awal hingga kainnya (1,5 meter x 20 cm) siap dipakai, dibutuhkan waktu sekitar 3 bulan. Namun ada juga kain yang dibuat sampai puluhan tahun. Warga setempat menggunakan kain geringsing dipakai untuk keperluan upacara tradisional seperti Mulan Saat Usaba Kasa, Mulan Daha, Mekare-kare, dan lain-lain. Selain digunakan sebagai pakaian, kain geringsing juga dapat digunakan sebagai hiasan dinding, selendang, dan keperluan lainnya. Motif kain geringsing beraneka ragam bentuknya antara lain seperti pepare, kebo, lubeng, pat likur, petang dasa, putri, cempaka, daun, dan lain-lain. Motif-motif tersebut terdiri dari 3 warna yaitu merah (mencerminkan Dewa Brahma), warna putih (mencerminkan Dewa Wisnu), dan warna hitam (mencerminkan Dewa Siwa). Selain kain geringsing, kerajinan khas desa Tenganan adalah anyaman yang terbuat dari pohon ate dan kerajinan lontar yang berbentuk kalender Bali dan cerita Ramayana.
Kerajianan masyarakat Tenganan ini ditujukan untuk mendukung kegiatan pariwisata yang sudah dimulai sejak tahun 1930-an dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Namun pada dasarnya masyarakat mempunyai sumber ekonomi ganda yaitu sebagai pelaku pariwisata dan pemilik lahan pertanian.
Bedasarkan pemetaan yang dilakukan pemerintah pada tahun 2000, Desa Tenganan memiliki luas wilayah 917,2 hektar. Tanah di Tenganan sebagian besar (66,4%) adalah tegalan sekaligus berfungsi sebagai hutan yang belum tersentuh bahan kimia. Selain tegalan dan hutan, Tenganan juga memiliki areal seluas 25,73% lahan persawahan, dan 7,86% untuk pemukiman. Sayangnya dengan lahan seluas itu masyarakat Tenganan bukan petani sebenarnya. Sebagian besar hanya sebagai tuan tanah yang ''menyakapkan''/menyewakan tanahnya kepada para ''penggarap''. Hanya sebagian kecil yang masih pergi ke hutan dan mengambil hasilnya.
Sehingga saat ini lumbung di Tenganan tidak berfungsi secara optimal. Lumbung dirangcang dengan cara membuat ''langki'' yang ditujukan supaya tikus tidak bisa masuk ke lumbung. Dulu lumbung bisa digunakan sebagai tabungan karena difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi. Tetapi setelah revolusi hijau, budaya menyimpan padi sebagai tabungan sudah mulai menurun, bahkan hilang. Tanaman padi lokal mulai hilang sejak adanya revolusi hijau. Lumbung yang ada masih dimanfaatkan untuk menyimpang padi lokal, bahan upacara.
Sejak Tenganan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata kesakralan bertoleransi dengan profanisme. Orang luar diijinkan melihat dan mendengarkan hampir semua yang sakral di Tenganan, termasuk mengabadikan melalui foto atau video. Pada saat acara tersebut, kunjungan wisatawan meningkat tajam. Berbaur dengan pedagang ‘dadakan’ yang menggelar dagangannya di atas terpal atau menggunakan gerobak dorong, seperti pedagang di pasar malam.
Dampak industri wisata di Desa Adat Tenganan Pegringsingan antara lain:
·         Pergeseran itu menyangkut aktivitas mata pencaharian, pergaulan (sosial), sedangkan aktifitas yang menyangkut tuntutan adat masih tetap terjalin.
·         Tenganan Pegringsingan yang di masa lalu mengutamakan kepentingan spiritual dan kebersamaan kini secara nyata mulai bergeser ke arah kepentingan komersial dan pribadi. Hal tersebut juga tercermin dalam rumah tinggal masyarakat, baik halaman dalam (natah) maupun ruang dalamnya. Dalam pekarangan, masih terdiri beberapa tipe (unit) bangunan (bale-bale) dengan tata letak mengikuti tata nilai Tri Mandala, tetapi pada aktifitas sehari-hari maka terlihat adanya pengaburan fungsi bale-bale tersebut. Dalam hal ini unsur kepentingan ekonomi memegang kendali yang cukup besar dalam pemanfaatan ruang.
·         Pada sebagian besar pekarangan terjadi perluasan ke arah belakang (teba) sehingga daerah madia dan natah menjadi lebih luas untuk berfungsi sebagai tempat menjual barang-barang kerajinan. Dimensi bangunan sakral (buga) cenderung mengecil, sedangkan bangunan profan kecuali dapur (paon) cenderung membesar.
·         Organisasi unitunit bangunan/pekarangan tetap, tetapi unit-unit bangunan/pekarangan ada yang berorientasi keluar, tidak lagi ke halaman dalam (natah). Bangunan-bangunan yang tidak diwajibkan (untuk peribadatan) mengalami perubahan lebih besar dibandingkan bangunan-bangunan yang diwajibkan
·         Material bangunan cenderung menggunakan hasil industri (buatan) kecuali penutup atap bale buga.
·         Dalam pembangunan fasilitas-fasilitas baru maupun unit-unit bangunan, cenderung terjadinya modifikasi dari langgam-estetika klasik Desa Adat Tenganan Pegringsingan menuju langgam-estetika “kota besar”.
·         Fasade beberapa bangunan dalam pekarangan khususnya bangunan profan cenderung berpola tertutup, sedangkan dari luar pekarangan tetap berpola tertutup. Ruang-ruangnya cenderung komplek dan makin efisien. Langgam bangunannya cenderung menggunakan langgam tradisional Bali Daratan atau Patra Majapahit.
·         Proses pembangunannya masih tetap memperhatikan hari baik serta urutan pembangunan, namun dengan upacara yang lebih sederhana yaitu hanya upacara peletakan batu pertama dan pada melaspasannya.
·         Variasi perubahan bangunan suci (sakral) lebih sedikit dibandingkan bangunan yang tidak suci (profan); bangunan suci yang terkait dengan ritus desa lebih sulit berubah dibandingkan dengan bangunan suci yang terkait dengan ritus individu keluarga.










BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bersadarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berbagai macam kebudayaan yang ada di Pulau Bali ini hendaknya kina kenali sejak dini dan dilestarikan keasliannya. Jangan terlalu mengikuti arus zaman hingga meninggalkan kebudayaan kita. Perubahan positif berhak kita terima dengan bijak sedangkan yang negative lebih baik tidak diikuti.  
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, saran yang dapat di ambil adalah yang diperlukan untuk melestarikan budaya kita adalah peranan segala lapisan masyarakat. Bukan hanya dititik beratkan pada pemerintah, melainkan diri kita sendiri yang menyikapi kebudayaan tersebut dengan bijaksana.






DAFTAR PUSTAKA
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin.2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Udayana University Press.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia Daerah Bali . 2003. Bali Objek dan Daya Tarik Wisata.